"Rembulan emas berkata 'terik matahari tak lagi tahu' seuntai kata nan jauh dipandang oleh kalangan bawah sepertiku. Yang tak bergibah antara dusta maupun muslihat"
Diantara kita memang terkenal kejamnya ibu kota. Tempat mengadu nasib yang terjuntai hingga pesisir pantai wilayah utara. Dari tepi manggala atas hingga manggala bawah. Semua nampak sama, tak peduli. Bagai belatung yang tak kunjung sedikit, bawasan yang tepat untuk menjuluki kota batavia ini. Baik tempo dulu maupun tahun revolusi semua nampak sama, tak peduli.
Sebogoh rumah nampak ramun dimakan oleh biota alam, kumuh nampak jauh dari kata eksotis. Perihal dentum kereta api pun nampak terbiasa oleh kerumunan orang yang sedang mengadu nyawa nasibnya dibawah terik sang surya.
Inilah aku, satu dari sejuta kerumunan pencari nafkah. Berjuang melawan derasnya hujatan. Baik batin maupun raga. Sudah terbiasa bagi orang sepertiku untuk pulang dengan baju yang lesuh nan bau. Rumah dengan ukuran bak kandang sapi seperti ini hangat menyapa badan yang lunglai ini. Yang habis dimakan kejamnya ibu kota. Ingin rasanya berada dikawasan berbeda pada hitungan detik ini.
Malam itu, semua nampak ranum. Sepi tak berdaya. Hanya sekotong lembaran permasalahan yang membuat kebisingan warga. Berderai suara pro dan kontra nampak seperti ingin menghancurkan palang pintu kaya yang menopang rumahku. Jangan heran jika ini terus berlanjut. Didepan sekoci tempat aku memanjakan badan. Tanda tanya terus menghalusinasikan pikiran ku. Terus memutar sehingga perihal pembunuhan itu hanyalah sambung siur belaka. Semua nampak aneh, mengapa harus ada noda? Pikirku.
Akhirnya kutuntaskan untuk kembali menganalisa kejadian tersebut. Ditemani derai suara kereta api manggarai yang tak berlanjut sepi. Kuputar balikan fakta, menjadi anak kecil untuk sementara. Untuk sementra waktu ku putuskan bahwa pria berbaju 90'an itu yang bersalah. Jika itu benar mengapa harus ada derai air mata? Atau mungkin itu hanya akal belakanya saja agar dia tak teridentifikasi? Sungguh di luar dugaanku. Asap semercik rokok membuat pikiranku terus bebas. Menghalalkan segala cara demi sebogoh informasi. Secara teknis semua orang menganggap kasus pembunuhan kali ini gampang, tapi siapa mereka? Hanya pembual yang memakan gaji hitam.
Lembar putih kini telah menjadi lesung coretan akan fakta. Semua telah kutulis hingga detail dari awal hingga klimaks kisah tersebut. Sepuluh foto telah dikutip dalam tinta merah. Tersangka atau terdakwa? Itu bisa jadi pilihan yang sulit.
10 maret 2002, 10:00a.m
Bintaro,Jakarta. Rumah tua bermodel minimalis ini menjadi tawaran halus untuk menyusuri rangkaian masalah. Bukan hanya omong belaka saja, tapi nampak cocok untuk di lakukan identifikasi. Lantas saja semua berubah, baik dugaan maupun pikiran. Ku ketok dua pintu yang menjadi gerbang untuk masuk kedalam wancana kejadian ini. Sepi, bak gong yang lama tak kunjung berdengung. Perlakuan yang sama ku ulang untuk kedua kalinya. Ketiga kalinya. Hingga ke sepuluh kalinya. Namun semua sama. Pintu tak kunjung terbuka. Terlihat jelas bagaimana rasa takut yang menyelimuti rumah tersebut. Sepi yang berbeda, sepi yang diselimuti rasa tegang. Sebenarnya ini bukan akhir melainkan sandungan dalam kasus kali ini. Mata ku kembali fokus pada suatu benda. Benda yang tipis namun bermakna banyak. Nampak sama, hanya coretan hitam dari atas hingga bawah kertas. Kenapa kertas hubungan kerja ini di biarkan saja? Ku lihat secara detail, huruf demi huruf. Kata demi kata. Dan nampak aneh dengan tanda tangan ini. Tanda tangan yang beribu kali kulihat dalam tujuh tahun ini. Ditulis oleh tangan yang sama dan untain yang sama.
SIAL! Ternyata dugaanku salah. Semua salah. Tahapan yang telah kubuat kali ini meleset. Sepi tak berderai. Terasangka yang selama ini kucari hanyalah halusinasi belaka. Pantas saja berderai air mata, toh semua ini hanya permainan. Permainan antara hidup dan mati. Kita ambil saja satu contoh. Boneka. Ya, sekarang posisiku seperti itu. Masuk kedalam jebakan keji sang koruptor berdarah dingin. Lantas saja aku berdiri tegap mencari informasi yang tak kunjung datang, karna informasi ini dipegang oleh satu tangan. Tangan yang berdosa dan tak tembus arah. Tangan yang selama ini melakukan salaman khusus dengan ku. Tangan yang selama ini memberikanku bantuan. MUNAFIK! Teriakku. Membuat kesepian ini kembali tegang.
Dengan langkah sigap kupacu mesin beroda empat ini kembali ke wilayah menteng, jakarta. Pikiranku tak tenang, semua seperti tersiur sana sini. Antara khawatir dan amarah. Mungkin sang surya juga mengerti kenapa aku melakukan hal tersebut. Dikhianati teman seperjuangan. Informasi ini menjadi berdarah.
10 Maret 2002, 12:08 pm
"ANDRI!" terirakku. "ANDRI!!" untuk kedua kalinya aku berteriak. "ANDRI ANJING!" amarah yang kumiliki tidak lagi mempunyai batas wajar. Semua kepala kembali mengangkat pada satu titik. menatap tajam dan kaget. Angin yang berhembus pn kembali terulang menyebrangi jembatan kulit yang mengatur pelosok tubuh. semua tertegun melihat seorang polisi berteriak dengan nada yang kurang wajar. semua bingung. diam. dan bingung kembali. Tapi keadaan tetap saja kembali tegang terlihat ada sesosok orang pun berlari menyebrangi pintu tua yang berderet tajam nan rapuh,
"HEI ANJING! JANGAN LARI KAU!!!" ternyata dia adalah andri. ku kejar dia dengan sekuat tenaga. tak pernah ku mengerti arti dari sebuah pengejaran ini. antara marah dan gelisah pun sering terjadi diiringi langkah kaki yang tak teratur. semua muka kembali menatap dua orang munafik yang sedang berlari. tidak dia yang munafik aku tidak.
Andri masih berlari dengan amat tangguh, tak kenal lelah demi menyelamatkan sebuah fakta yang hina. Fakta yang akan menyelamatkan kasus ini walaupun akan memakan korban. Tega mulai kembali terpikir oleh halusinasi ini. Tapi semua nampak berubah di saat "DOOORR!!" semua orang nampak kaget dengan suara itu. itu bukan suara biasa, tapi itu adalah suara senjata. "ANDRI!!! BANGSAT! SIAPA ITU! TAI! ANDRI BANGUN ANDRI!! KAMPRET KELUAR!!" suara bajingan itu yang ternyata membunuh sahabatku. Sesal yang ku alami mendalam. pembunuh keji itu membunuh terdakwa emas yang kumiliki. namun, suara itu tak terdengar kembali. Hanya orang pengecut yang tak mau rahasia ini terbongkar. darah terus mengalir dari kepala Andri. " ANDRI TAHAN DRII!! AKAN KU ANTAR KAU KERUMAH SAKIT! ANDRI BANGUN! DRI.. SEBENTAR LAGI DRI TAHAN DRI! teriakku kepada sahabat sekaligus lawan mainku. aku terus berderai air mata. menahan isak tangis sahabtku yang pernah mengalami masa sulit denganku. sulit menduga kalau ini hanya halusinasi. " S..semua udah dimulai dari sekarang, dunia sudah berubah. Takkan adalagi manusia yang peduli. Semua akan egois walaupun demi kebaikan dirinya sendiri." ucap andri, " APA? MAKSUD KAU ITU APA?! SUDAH JANGAN BANYAK OMONG! KAU HARUS TAHAN JANGAN MATI DULU!!" ucapku yang terus gelisah. Ku ambil HP dan ku sentuhkan jariku ke layar hitam tersebut. berharap ada yang membalas panggilan ku "PAK! HALO! PAK! PAK!... SIAL MATI?! SABAR DRI! AKAN KUCOBA NOMER LAIN!" ucapku yang mulai gelisah. tapi aku kembali tak mendapat jawaban, takut mulai ku alami walaupun itu hanya seuntai perasaan. "Sudahlah kawan tak ada gunanya, Aku memang ingin seperti ini. Sudah muak aku dengan semua ini.. Maafkan aku telah mengkhianati persahabatan kita" " TUNGGU?! JANGAN KAU NGOMONG SEPERTI ITU?! KAU TAKKAN MATI!" ucapku. "hahaha kau masih saja sama kaya dulu. tetap elegan... argh.."ucap andri " SUDAH KU BILANG JANGAN BANYAK BICARA! NANTI DARAHMU AKAN MENGALIR TERUS!" ucapku yang terus gelisah. " Pergilah kau ke pelabuhan tanjung priuk pada minggu malam, disitu akan ada transaksi. kau memang tidak akan menemukan dalangnya tapi... Tapi kau akan menemukan buktin untuk kasusmu. ikuti mereka.. argh.. ikuti sampai langkah kakimu terhenti.. Argh Ah..a.. hu.hu...hu. maafkan aku kawan" ucap andri. " ANDRI BANGUN ANDRI!! ANDRI!! ANDRI!!!!!!! BAJINGAN! JANGAN BERPURA-PURA KAU!! BANGUN!!" tapi omongan ku mulai tampak sia sia. andri telah meninggal. bersama kenangan yang kumiliki. tapi ini bukanlah akhir, Tapi awal dari cerita berdarah tersebut.
Bersambung
Posted by
Unknown